Kecepatan tsunami di samudra mencapai 800km/jam, sistem peringatan tak mampu mengejarnya.
![]() |
Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. (http://netsains.com/) |
Hasil temuan BPPT menunjukkan, gelombang tsunami menghantam pantai barat Pagai dan Sipora Selatan dalam waktu di bawah tujuh menit.
“Saya sudah melihat hasil penelitian BPPT yang mengikutsertakan sejumlah ilmuwan dari LIPI dan universitas di Jepang, bahwa tsunami menghantam Mentawai dalam waktu lima menit pasca gempa,” ujar Koordinator Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) Sumbar Ade Edward di Sikakap, kepada VIVAnews, Rabu, 10 November 2010.
Kecepatan gelombang saat berada di Samudera Hindia mencapai 800 km per jam. Saat menyentuh bibir pantai, ujar Ade, kecepatan gelombang berkurang dari semula secara drastis. Secara teori, kecepatan gelombang tsunami berkurang dengan sendirinya saat memasuki laut dangkal.
"Ketika sampai di pantai, kecepatan gelombang berkisar antara 25 km per jam hingga 40 km per jam," kata Ade. Dengan kecepatan tersebut, gelombang tsunami bisa menyentuh pantai barat Mentawai dalam waktu lima menit. Sedangkan untuk menjangkau kawasan Pantai di Padang, gelombang hanya membutuhkan waktu 35 menit.
Perbedaan waktu yang singkat ini membuat mitigasi bencana di Mentawai dengan kawasan Pantai Barat Sumatera musti berbeda secara teknologi. Menurut Ade, peringatan dini tsunami berbasis teknologi tidak akan berjalan efektif bila digunakan di perairan Mentawai yang menghadap ke Samudera Hindia.
Sesuai prosedur Early Warning System (EWS) yang terpasang saat ini di Sumatera Barat, peringatan dini baru akan dikeluarkan Pusdalops PB Sumbar selang 15 menit pasca gempa berpoteni tsunami.
Kondisi tersebut, tentunya tidak bisa diterapkan di Kepulauan Mentawai karena jarak yang sangat dekat dengan pusat gempa. “Tidak ada alat (early warning system) yang bisa memperingatkan secepat itu," kata Ade.
Ia menambahkan, hanya sistem peringatan dini yang berbasis kultural yang bisa diterapkan di Mentawai. Ia menghimbau, masyarakat Mentawai tak perlu menunggu peringatan untuk berlari menyelamatkan diri setelah gempa besar terjadi.
Peringatan dini berbasis kultur, menurutnya, akan berjalan baik dengan memperbanyak sosialisasi tentang gempa dan tsunami hingga sekolah-sekolah.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Jendral Daerah Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan yang juga pakar pemodelan tsunami, Subandono Diposaptono.
Menurut Subandono, bila informasi dini tsunami dikehendaki agar bisa disampaikan dalam waktu lima menit pertama, maka parameter gempa bumi (waktu, kejadian, lokasi, kedalaman, dan magnitude) harus bisa ditentukan dalam waktu tiga menit pertama.
Untuk proses ini, dibutuhkan rancangan konfigurasi stasiun seismograf yang mampu menganalisa tiga syarat tsunami dalam waktu yang cepat. Ketiga syarat itu adalah: pusat gempa berada di dasar laut, dengan kedalaman kurang dari 60 km, dan besarnya gempa lebih dari 6,5 SR.
Bila ketiganya terpenuhi, maka dikirimlah peringatan tsunami kepada aparat yang berwenang dan media massa agar segera disiarkan kepada masyarakat pesisisr. Namun, hasil itu kemudian harus dikonfirmasikan lagi dengan sistem pengamatan perubahan permukaan air laut (seperti tide gauge) yang bertugas membenarkan atau membatalkan peringatan pertama.
Namun untuk kasus tsunami Mentawai 25 Oktober lalu, kata Subandono, waktu tsunami datang begitu cepat. Oleh karenanya, masyarakat dianjurkan juga menanamkan kembali sistem kesiapsiagaan yang berbasis kearifan lokal, seperti tradisi Smong yang masih bertahan hingga sekarang di Pulau Simeulue.
Subandono juga menambahkan, untuk menghindari vandalisme, semestinya masyarakat sekitar juga diberikan sosialisasi tentang pentingnya instrumen-instrumen pendeteksi tsunami (tsunami buoy) dan dilibatkan dalam upaya pemeliharaan peralatan itu dalam sistem pengawasan berbasis masyarakat (siswasmas). (hs) (VIVAnews)
EmoticonEmoticon